Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Penjajahan Belanda di Indonesia
![]() |
Dampak Politik
Dampak politik penjajahan di negara koloni dapat dilihat dari segi struktur pemerintahan, sistem hukum, pergerakan nasionalis, dan kemerdekaan. Beberapa dampak politik penjajahan di negara koloni adalah:
Struktur pemerintahan. Penjajah biasanya mengubah atau menggantikan struktur pemerintahan yang ada di negara koloni dengan sistem yang sesuai dengan kepentingan mereka. Misalnya, penjajah Inggris menerapkan sistem parlementer di India, penjajah Belanda menerapkan sistem desentralisasi di Indonesia, dan penjajah Prancis menerapkan sistem asosiasi di Vietnam. Struktur pemerintahan yang baru ini dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, struktur pemerintahan yang baru dapat meningkatkan efisiensi administrasi, pembangunan infrastruktur, dan partisipasi politik. Di sisi lain, struktur pemerintahan yang baru juga dapat menimbulkan ketimpangan kekuasaan, korupsi, dan konflik antar kelompok.
Sistem hukum. Penjajah juga seringkali mengubah atau menghapus sistem hukum yang berlaku di negara koloni dengan sistem hukum yang berasal dari negara asal mereka. Misalnya, penjajah Inggris menerapkan hukum umum (common law) di India, penjajah Belanda menerapkan hukum sipil (civil law) di Indonesia, dan penjajah Prancis menerapkan hukum napoleon (code napoleon) di Vietnam. Sistem hukum yang baru ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, sistem hukum yang baru dapat memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum, dan keseragaman hukum. Di sisi lain, sistem hukum yang baru juga dapat mengabaikan hak asasi manusia, adat istiadat setempat, dan keadilan sosial.
Pergerakan nasionalis. Penjajahan juga memicu munculnya pergerakan nasionalis di negara koloni sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan dan eksploitasi oleh penjajah. Pergerakan nasionalis ini dapat bersifat moderat atau radikal, damai atau bersenjata, kooperatif atau konfrontatif. Misalnya, pergerakan nasionalis India dipimpin oleh Mahatma Gandhi dengan strategi non-kekerasan dan desobediensi sipil, pergerakan nasionalis Indonesia dipimpin oleh Soekarno dengan strategi diplomasi dan perjuangan fisik, dan pergerakan nasionalis Vietnam dipimpin oleh Ho Chi Minh dengan strategi revolusi dan gerilya. Pergerakan nasionalis ini memiliki dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, pergerakan nasionalis ini dapat meningkatkan kesadaran nasional, solidaritas sosial, dan identitas bangsa. Di sisi lain, pergerakan nasionalis ini juga dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan materiil, dan perpecahan nasional.
Kemerdekaan. Penjajahan juga menjadi faktor pendorong bagi negara koloni untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka dari penjajah. Kemerdekaan negara koloni dapat dicapai melalui berbagai cara, seperti negosiasi, mediasi, arbitrase, referendum, atau perang. Misalnya, kemerdekaan India dicapai melalui negosiasi dengan Inggris pada tahun 1947, kemerdekaan Indonesia dicapai melalui mediasi dengan Belanda pada tahun 1949, dan kemerdekaan Vietnam dicapai melalui perang dengan Prancis pada tahun 1954. Kemerdekaan negara koloni memiliki dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, kemerdekaan negara koloni dapat memberikan kedaulatan, demokrasi, dan kemakmuran. Di sisi lain, kemerdekaan negara koloni juga dapat menimbulkan masalah baru, seperti integrasi nasional, stabilitas politik, dan pembangunan ekonomi.
Dampak Ekonomi
Indonesia adalah negara yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah ruah. Potensi ini sudah sejak lama dilirik oleh para pelawat yang datang ke Indonesia termasuk kaum penjajah. Belanda memanfaatkan potensi alam tersebut salah satunya dalam bidang industri perkebunan. Kehadiran Belanda di Nusantara dimulai dengan pembentukan VOC yang dalam perkembangannya berhasil mengembangkan usaha berupa perkebunan komoditas baru yang dianggap memiliki prospek yang bagus diantaranya kopi dan tebu. VOC melaksanakan sistem penanaman komoditi wajib berupa kopi di wilayah Priangan yang kemudian diperluas ke wilayah Ambon dan Pekalongan. Bupati setempat menjadi pemimpin pelaksanaan organisasi penanaman wajib dengan mempekerjakan mandor-mandor pribumi untuk mengawasi pekerja. Sementara itu, pekerjaan pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen hingga pengangkutan kopi ke gudang penyimpanan Belanda dilakukan oleh penduduk yang dipaksa untuk melakukan pekerjaan rodi. '
Johannes van den Bosch adalah gubernur jenderal yang mencetuskan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa pada 1930. Petani diwajibkan untuk menanam komoditas yang sesuai permintaan pemerintah di tanah milik mereka sendiri di antaranya kopi, tembakau, tebu, teh, lada, kayu manis, dan kina. Di samping memiliki dampak yang sangat memberatkan rakyat Indonesia, sistem tanam paksa nyatanya memiliki dampak positif terhadap perkembangan aspek perkebunan di Indonesia antara lain:
- Beberapa komoditas ekspor diperkenalkan dan mengalami perluasan yakni kopi, teh, kayu manis, dan lada yang ditanam di lahan hak milik rakyat.
- Jumlah produksi dan ekspor tanaman perkebunan semakin meningkat. Hal ini nyatanya berhasil membawa Hindia Belanda menjadi salah satu negara produsen utama beberapa komoditas ekspor yang dikirim ke pasar Eropa. Di antaranya adalah kopi, tebu, tembakau, dan lada.
- Dengan masukkan pengetahuan dan alat perkebunan dari Barat, petani dapat menguasai teknologi budidaya tanaman baru.
- Setelah sebelumnya menanam dan menjual hasil perkebunan dengan cara konvensional, dengan sistem ini masyarakat dapat mengenal sistem perkebunan yang lebih komersial. Secara berangsur-angsur sistem cultuurstelsel dihapus.
Atas desakan politik, laissez-faire yakni suatu paham yang berusaha meminimalkan peranan pemerintah terutama dalam bidang ekonomi, dalam kurun waktu 1870-1900, Belanda menerapkan sistem perekonomian yang disebut sebagai sistem ekonomi liberalisme. Untuk pertama kalinya, dalam sejarah kolonial masa itu, pihak Belanda memberi peluang untuk modal swasta mengusahakan kegiatan ekonomi di Hindia Belanda. Dengan banyaknya pengusaha yang menanamkan modalnya di sektor perkebunan Hindia Belanda tentu sangat menguntungkan pihak kolonial Belanda. Tahun 1870, pemerintah kolonial menerbitkan Undang-undang Agraria atau disebut Agrarische Wet. Undang-undang ini memberi kebijakan antara lain:
- Penduduk non bumiputera tidak diizinkan memiliki tanah atas dasar hak milik mutlak (eigendom), kecuali tanah untuk pabrik.
- Rakyat yang memiliki hak tanah pribadi tidak dapat menjualbelikan tanahnya kepada non-pribumi.
- Kepemilikan mereka hanya atas dasar erfpacht, semacam hak guna usaha dengan masa berlakunya 75 tahun dan dapat diperpanjang jika memungkinkan.
Pembukaan Terusan Suez memiliki dampak yang sangat besar bagi Hindia Belanda. Jarak antara negara penghasil tanaman ekspor dengan pasarnya di Eropa Barat semakin pendek. Hal ini secara tidak langsung mendorong perkembangan pesat pembukaan lahan perkebunan di negara koloni antara tahun 1870-1885. Salah satu yang memengaruhi adalah kebijakan dari UU Agraria yaitu hak erfpacht atau hak guna usaha untuk membuka perkebunan-perkebunan besar seperti perkebunan teh, gula, tembakau serta komoditi dagang lainnya. Meningkatnya permintaan terhadap bahan mentah dan bahan makanan dari Eropa dan Amerika menyebabkan semakin banyaknya aliran modal asing datang ke wilayah Hindia Belanda. Undang-undang ini dikeluarkan agar penduduk bumiputera tidak kehilangan tanah miliknya.
UU ini juga dimaksudkan untuk menjadikan perkebunan aspek terpenting dalam pandangan ekonomi di Indonesia masa kolonial yakni menjadi pendorong investasi asing besar-besaran di sektor perkebunan Hindia Belanda. Pada saat itu, perkebunan menjadi alat untuk menghasilkan devisa bagi Hindia Belanda. Awalnya pulau Jawa dengan investasi asing yang bergerak di sektor perkebunan khususnya tebu merupakan perkebunan yang besar dan terkenal namun di masa ini mulai meluas beberapa wilayah lainnya. Persebarannya seperti berikut:
- Perkebunan tebu Jawa Timur dan Jawa Tengah.
- Perkebunan Tembakau di Surakarta, Yogyakarta, Jawa Timur dan daerah Deli Serdang di Sumatera Utara.
- Perkebunan teh di Jawa Barat.
- Perkebunan karet di Sumatera Utara, Jambi dan Palembang.
- Perkebunan kina di Jawa Barat.
- Perkebunan sawit di daerah Sumatera Utara.
Sementara itu wilayah perkebunan di tanah Deli hingga ke Simalungun mengalami perkembangan yang pesat, bukan hanya tembakau namun karet, kopi, teh dan kelapa sawit menjadi komoditas perkebunan yang besar pula karena memiliki prospek yang sangat menguntungkan di pasaran dunia. Selama diberlakukannya sistem liberal, pembangunan sarana dan prasarana mutlak dilakukan pemerintah untuk menunjang produksi tanaman ekspor di Hindia Belanda. Waduk-waduk dan saluran irigasi adalah beberapa sarana yang mampu meningkatkan produktivitas dan hasil perkebunan
Dampak Sosial
Dampak sosial penjajahan di negara koloni dapat dilihat dari segi pendidikan, kesehatan, agama, dan budaya. Beberapa dampak sosial penjajahan di negara koloni adalah:
Pendidikan. Penjajah seringkali menyediakan atau mengabaikan pendidikan bagi penduduk asli di negara koloni sesuai dengan kepentingan mereka. Misalnya, penjajah Inggris menyediakan pendidikan modern berbasis bahasa Inggris di India untuk mencetak pegawai sipil dan elit lokal, penjajah Belanda mengabaikan pendidikan bagi rakyat pribumi di Indonesia untuk menjaga status quo dan menghindari pemberontakan, dan penjajah Prancis menyediakan pendidikan berbasis bahasa Prancis di Vietnam untuk menyebarluaskan budaya dan ideologi mereka. Penyediaan atau pengabaian pendidikan ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, penyediaan atau pengabaian pendidikan ini dapat meningkatkan literasi, keterampilan, dan mobilitas sosial. Di sisi lain, penyediaan atau pengabaian pendidikan ini juga dapat menimbulkan kesenjangan pendidikan, asimilasi budaya, dan alienasi sosial.
Kesehatan. Penjajah juga seringkali membawa atau mencegah penyakit yang berdampak pada kesehatan penduduk asli di negara koloni. Misalnya, penjajah Inggris membawa penyakit seperti cacar, malaria, dan kolera ke India yang menyebabkan kematian massal, penjajah Belanda mencegah penyakit seperti lepra, kusta, dan pes di Indonesia dengan memberlakukan karantina dan vaksinasi, dan penjajah Prancis membawa penyakit seperti sifilis, tuberkulosis, dan influenza ke Vietnam yang menurunkan kualitas hidup. Pembawaan atau pencegahan penyakit ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, pembawaan atau pencegahan penyakit ini dapat meningkatkan pengetahuan medis, pelayanan kesehatan, dan imunitas tubuh. Di sisi lain, pembawaan atau pencegahan penyakit ini juga dapat menimbulkan epidemi, kemandirian kesehatan, dan diskriminasi medis.
Agama. Penjajah juga seringkali menyebarluaskan atau menghormati agama yang dianut oleh penduduk asli di negara koloni sesuai dengan kepentingan mereka. Misalnya, penjajah Inggris menyebarluaskan agama Kristen di India melalui misi dan sekolah, penjajah Belanda menghormati agama Islam di Indonesia dengan memberikan otonomi dan perlindungan, dan penjajah Prancis menyebarluaskan agama Katolik di Vietnam melalui gereja dan biara. Penyebarluasan atau penghormatan agama ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, penyebarluasan atau penghormatan agama ini dapat meningkatkan toleransi, kerukunan, dan kebebasan beragama. Di sisi lain, penyebarluasan atau penghormatan agama ini juga dapat menimbulkan konversi, konflik, dan fanatisme agama.
Budaya. Penjajah juga seringkali mempengaruhi atau menghargai budaya yang dimiliki oleh penduduk asli di negara koloni sesuai dengan kepentingan mereka. Misalnya, penjajah Inggris mempengaruhi budaya India dengan membawa bahasa, sastra, dan hukum Inggris, penjajah Belanda menghargai budaya Indonesia dengan mengumpulkan dan melestarikan seni, sejarah, dan arkeologi Indonesia, dan penjajah Prancis mempengaruhi budaya Vietnam dengan membawa pakaian, musik, dan arsitektur Prancis. Pengaruh atau penghargaan budaya ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi negara koloni. Di satu sisi, pengaruh atau penghargaan budaya ini dapat meningkatkan akulturasi, apresiasi, dan kekayaan budaya. Di sisi lain, pengaruh atau penghargaan budaya ini juga dapat menimbulkan dominasi, degradasi, dan kehilangan budaya.
Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota
Dampak dari adanya kolonialisme di Indonesia yakni adanya urbanisasi. Urbanisasi sendiri adalah pergeseran populasi dari daerah pedesaan ke perkotaan. Perluasan daerah pertanian dan industri perkebunan diikuti oleh melonjaknya jumlah penduduk dan menyebabkan penyebaran daerah pemukiman yang lebih luas. Jalan kereta api dibangun untuk memperlancar sarana transportasi. Perbaikan jalan darat yang membentang dari Anyer hingga Panarukan juga dikerjakan dengan serius. Pada masa liberal ini, perusahaan baru yang didirikan dengan cepat mengalami perkembangan. Oleh karena itu perusahaan membutuhkan banyak personil dan tenaga ahli. Tidak jarang sampai mendatangkan tenaga dari luar negeri. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa jumlah orang-orang Eropa di Tanah Hindia meningkat dengan tajam. Banyak dari mereka yang menuntut kenyamanan layaknya di negeri asal. Melihat kondisi seperti ini, untuk menciptakan kondisi yang lebih baik dan nyaman, pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah, perumahan dan pelayanan kesehatan khusus.
Tak pelak kondisi tersebut membuat pemukiman-pemukiman khusus orang Belanda atau Eropa tumbuh subur di Hindia Belanda. Dampak lain dari tumbuhnya perdagangan dan perusahaan yakni menimbulkan urbanisasi masyarakat pribumi dari pedesaan ke kota atau pusat perkebunan. Hal tersebut didorong oleh faktor berkurangnya lahan pertanian yang mengakibatkan peningkatan kaum miskin di wilayah pedesaan. Seperti yang terjadi di Surabaya, pada akhir abad ke-19 yang berhasil menjadi kota industri dan perdagangan yang maju karena banyak perusahaan asing yang menanamkan modalnya di kota ini. Surabaya pun menjadi salah satu tujuan orang-orang dari desa mengadu nasib dengan harapan akan mendapat pekerjaan yang layak. Pertumbuhan industri dan perkebunan berhasil melahirkan kota-kota pesisiran, seperti Tuban, Gresik, Batavia, Surabaya, Semarang dan Banten. Disusul pertumbuhan kota-kota yang terletak di pedalaman seperti Bandung, Malang hingga Sukabumi. Kota-kota di Hindia Belanda tumbuh dengan cepat sepanjang tahun 1900 hingga 1925.
Memasuki awal abad ke-20, orang-orang Eropa, termasuk para pengusaha dan keluarga pegawai pemerintah kolonial, semakin banyak berdatangan dan beradaptasi dengan kondisi tropis di Hindia Belanda, mereka menciptakan lingkungan ideal berdasarkan persepsi golongan Eropa. Menurut persepsi orang Eropa, lingkungan yang ideal diwujudkan dalam bentuk jalan yang beraspal, adanya lampu penerangan jalan, perluasan lahan kota dan dibentuknya taman kota, tersedianya lahan pemakaman dan pembangunan gedung perkantoran berkonsep Nieuw Indische Bouwstijl. Kota-kota di Pulau Jawa pembangunannya semakin berkembang disertai kehidupan masyarakatnya yang dinamis menjelang abad ke-20. Kota-kota tersebut diantaranya Batavia, Bandung, Malang, dan Semarang.
Daftar Pustaka
Safitry, Martina., Indah Wahyu Puji Utami., Zein Ilyas. (2021). Buku Panduan Guru Sejarah. Jakarta: Kemendikbudristek https://static.buku.mendikbud.go.id/content/pdf/bukuteks/kurikulum21/sejarah-BG-KLS-XI.pdf
Posting Komentar