Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme
Saudagar dan Penguasa Lokal Nusantara
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perdagangan internasional lintas benua telah berlangsung dan berkembang sejak lama. Akan tetapi, narasi sejarah tentang kota-kota pelabuhan baru diketahui dari catatan bangsa Eropa. Hal ini menyebabkan seolaholah kota tersebut muncul karena kedatangan bangsa Eropa. Pada kenyataanya jauh sebelum kedatangan mereka terdapat banyak saudagar dan penguasa lokal di Nusantara yang memiliki kuasa, kekayaan dan kemampuan untuk melakukan penjelajahan dan bahkan perlawanan kepada dominasi asing yang ingin menguasai Nusantara. Posisi geografis Nusantara berada di dalam jalur perdagangan internasional antara negara India dan Cina. Dengan posisi yang menguntungkan, saudagar dan penguasa lokal tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk turut andil secara aktif di dalam tatanan perdagangan internasional. Dalam tulisan Vadime Elisseeff (2000) dikatakan bahwa jalur pelayaran dan perniagaan laut dari Cina menuju Kalkuta, India harus melewati Selat Malaka. Sebagai sebuah pintu gerbang antar wilayah, Selat Malaka menjadi kawasan yang sangat penting bagi pelabuhan-pelabuhan di sekitar Samudera Hindia dan Teluk Persia. Selain itu Selat Malaka juga menjadi penghubung antara dunia Arab dengan India di sebelah barat laut Nusantara, dan Cina di sebelah timur laut Nusantara.
Dengan kondisi rute pelayaran yang ramai sejak awal abad II mendorong munculnya kota-kota pelabuhan penting di sekitar jalur Selat Malaka, yaitu Malaka, Samudera Pasai, Sumatera Timur, Jambi, Banten, Lasem, Tuban, Gresik, Makassar dan lainnya. Kekuatan politik di Nusantara lahir dari pertumbuhan jaringan perdagangan internasional antar pulau. Kekuatan politik yang dimaksudkan salah satunya berada di Pantai Timur Negeri Melayu yang sekarang dikenal menjadi Jambi. Tepatnya muara sungai Batanghari atau lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan pada saat itu terdapat beberapa kerajaan besar di tiga wilayah, yaitu Kalingga (Jawa Tengah), Tarumanegara (Jawa Barat), terakhir Singasari dan Majapahit (Jawa Timur). Mereka sama-sama menguasai wilayahwilayah yang luas di Nusantara. Hubungan politis antara kerajaankerajaan besar dengan kerajaan-kerajaan kecil atau saudagar-saudagar yang berada di bawah kekuasaannya hanya sebatas mendapatkan hak dan menjalankan kewajiban yang saling menguntungkan satu sama lain. Keuntungan yang diperoleh dari kerajaan lokal yang lebih kecil adalah perlindungan, rasa aman dan bernilai prestise atau rasa bangga karena memiliki hubungan dengan kerajaan-kerajaan besar.
Apabila dirasa sudah tidak mampu memberikan rasa aman, adalah hal yang lumrah jika mereka membangkang dan berpindah kepada naungan kekuasaan kerajaan besar lain yang dianggap lebih kuat. Keuntungan yang dirasakan oleh kerajaan-kerajaan besar adalah pengakuan simbolik, kesetiaan dan pembayaran upeti dan komoditi yang dipergunakan untuk perdagangan berskala internasional. Kondisi hubungan seperti ini memperlihatkan bahwa di Indonesia sudah ada dinamika antar saudagar dan penguasa lokal dalam gambaran jaringan perdagangan internasional pada masa abad penjelajahan.
Perang Antar Negara Eropa dan Upaya Menegakkan Hegemoni di Nusantara
beberapa peristiwa sejarah global yang memiliki dampak pada jalan sejarah di Indonesia. Perjanjian Tordesillas merupakan satu titik awal dari ekspansi bangsa Portugis dan Spanyol dalam melakukan penjelajahan dunia. Agar tidak terjadi perebutan wilayah yang sama, Paus Paulus Alexander VI membagi garis demarkasi pada tanggal 7 Juni 1494 di Tordesillas, wilayah di barat laut Spanyol. Dampak Perjanjian Tordesillas membuat pelaut Portugis berlayar ke timur, mengitari pantai barat Afrika. Pada 1487, pelayar Bartholomeus Diaz mengitari Tanjung Harapan di Afrika dan memasuki Samudra Hindia. Kemudian pada 1497, pelayar Vasco da Gama sampai di India.
Perjanjian Saragosa merupakan kelanjutan dari persaingan antara Portugis dan Spanyol. Setelah berhasil menguasai Malaka tahun 1511, Portugis kemudian menemukan Maluku. Tahun 1512 Portugis bersekutu dengan Ternate. Ternyata dari arah Filipina, Spanyol berhasil juga menemukan Maluku dan segera bersekutu dengan Tidore pada tahun 1521. Kedua negara Barat ini memanfaatkan perselisihan antara kerajaan lokal untuk berebut pengaruh dan monopoli perdagangan di Maluku. Akhirnya pada tanggal 22 April 1529 ditandatangani perjanjian di Saragosa, yang menyebabkan Spanyol angkat kaki dari Maluku dan Portugis memonopoli perdagangan rempah di Maluku. Setelah kurang lebih satu abad memonopoli perdagangan Maluku, ambisi Portugis untuk menguasi Ternate mendapat perlawanan dari Sultan Baabullah. Sultan Baabullah berhasil menyatukan rakyat Maluku untuk bersama-sama mengusir Portugis. Perlawanan Sultan Baabullah sebenarnya tidak lepas dari kenyataan bahwa ayahnya Sultan Hairun telah dibunuh oleh Portugis.
Setelah bercokol hampir satu abad di Ambon, pada 25 februari 1605 Portugis akhirnya hengkang dari Ambon setelah bentengnya diserbu oleh aliansi VOC dan penduduk lokal. VOC berhasil menikung Portugis setelah berhasil bersekutu dengan penduduk Hitu di Ambon (Sitompul, 2016). Dimulailah masa penguasaan VOC di Maluku. Tahun 1611, Pieter Both, gubernur jenderal VOC menetapkan Ambon sebagai pusat VOC di tanah koloni sekaligus mulai membangun kantor cabang di Batavia. Tahun 1618 posisinya digantikan oleh Jan Pieterszoon Coen yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan VOC ke Batavia. Kembali kepada persoalan negara-negara Eropa, hubungan antara Republik Belanda dan Inggris mengalami pasang surut. Konflik antara Kekaisaran Habsburg, Spanyol dan Republik Belanda memainkan peran penting dalam hal ini. Selama Gencatan Senjata Dua Belas Tahun (1609-1621) ada kekhawatiran yang signifikan tentang kemungkinan aliansi Inggris-Spanyol. Akibatnya hubungan antara Inggris dan Belanda juga ikut memanas di tanah jajahan.
Melawan Kuasa Negara Kolonial
Kedatangan Belanda pada awalnya tidak dilandasi oleh keinginan untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Ketika ambisinya berubah untuk menegakkan sebuah negara koloni, muncul gelombang perlawanan dari penduduk lokal. Perjuangan melawan dominasi kekuasaan Belanda di Indonesia melalui masa yang sangat panjang. Sebelum abad ke-20, gagasan mengenai NKRI belum dikenal, sehingga perlawanan rakyat lebih bersifat kedaerahan. Mereka berjuang untuk melawan dan mengusir penjajah dengan dipimpin oleh tokoh masyarakat yang disegani di daerah masing-masing. Umumnya, perlawanan tidak terorganisir dengan baik. Seringkali penjajah menggunakan strategi devide et impera (politik adu domba) sehingga tidak jarang bumi putera menderita kekalahan. Dalam rentang waktu ini perlawanan rakyat terhadap kolonialisme lebih bersifat perang senjata. Perjuangan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh penguasapenguasa lokal dalam melawan kolonialisme dapat digolongkan menjadi dua periode yakni periode sebelum abad ke-19 dimana rakyat menghadapi VOC (dibubarkan pada akhir abad ke-18 yakni tahun 1799) dan periode setelah abad ke-19, menghadapi pemerintah Hindia Belanda.
a. Periode Sebelum Abad Ke-19
Perlawanan terorganisir di Pulau Jawa dimulai sejak tahun-tahun awal kepindahan pusat pemerintahan VOC dari Ambon ke Batavia. Kesultanan Mataram dan VOC sempat mengirimkan utusan untuk berdiplomasi. Hubungan yang awalnya baik itu, dalam perkembangannya berjalan tidak harmonis. Sultan Agung yang mengharapkan bantuan dalam penyerangannya ke Surabaya ternyata tidak mendapat dukungan dari VOC. Faktor lain adalah bahwa kehadiran VOC di Batavia seringkali menghalangi kapal dari Mataram yang akan melakukan perdagangan ke Malaka. Hal ini menjadikan dorongan yang kuat untuk dapat mengusir VOC dari tanah Jawa. Ia pun mulai menyerang Batavia tahun 1628 namun serangan pertama tidak berhasil hingga menggugurkan 1000 prajuritnya. Setahun berselang, Sultan Agung menyiapkan serangan keduanya. Namun penyerbuan yang dilakukan pada Agustus-Oktober 1629 pada akhirnya juga mengalami kegagalan karena ketika itu terjadi wabah kolera dan malaria.
Gudang-gudang perbekalan untuk perang Kesultanan Mataram juga dibakar musuh sehingga persediaan makanan tidak mencukupi dan pasukannya juga kalah dalam hal persenjataan. Serupa dengan Kesultanan Mataram, perjuangan rakyat Banten terhadap VOC bermula sejak kongsi dagang ini menguasai Batavia (Jayakarta). Kesultanan Banten dan VOC saling bersaing untuk menjadi bandar dagang internasional di wilayah Selat Sunda ini. Sikap VOC juga menunjukkan usaha untuk menggoyahkan politik kekuasaan Kesultanan Banten. Akhirnya Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perlawanan dengan bekerjasama dengan saudagar asing lainnya, yakni bangsa Inggris. Penyerangan langsung kepada kapalkapal VOC di perairan Banten dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa antara tahun 1658-1659 serta wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia (Angke dan Tanggerang). Sementara itu kekuasaan di Kesultanan Banten diserahkan kepada Sultan Abdul Khahar Abunazar atau Sultan Haji. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk melancarkan politik adu domba (devide et impera) yang pada akhirnya dapat mengalahkan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dan VOC dapat menguasai perdagangan di pesisir Jawa.
Perjuangan dari wilayah Indonesia Timur untuk melawan penjajah dilakukan oleh Kesultanan Gowa-Tallo yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Konflik diawali dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di Maluku diawali dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di Maluku hingga pecahlah Perang Makasar pada 1669. Sejak 1660 VOC memang berambisi untuk menguasai wilayah pelabuhan Somba Opu. Dalam perlawanan ini Kesultanan GowaTallo bersekutu dengan Wajo sedangkan VOC bersekutu dengan Raja Bone, Arung Palakka yang pada waktu itu sedang berseteru dengan Kesultanan Gowa.
Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang mengakhiri perlawanan Kesultanan Gowa-Tallo dengan VOC. Kesultanan Gowa diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan wakil VOC adalah Cornelis Speelman. Meski disebut perjanjian damai, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC serta pengesahan monopoli perdagangan sejumlah barang di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Kesultanan Gowa (Kemendikbud & ANRI, 2020)
b. Periode Setelah Abad Ke-19
Pada penghujung abad ke-19, VOC dibubarkan dan penguasaan negaranegara koloni berada di bawah langsung pemerintah Belanda. Namun perubahan tersebut tidak kemudian mengubah praktik kolonialisme di Indonesia bahkan lebih eksploitatif. Maluku adalah wilayah perdagangan rempah-rempah yang sudah diperebutkan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15.
Memasuki abad ke-19 rakyat Maluku berjuang untuk melawan penjajah karena tidak ingin orang Belanda kembali menguasai wilayah ini. Ketika Inggris di bawah Raffles berkuasa di Hindia Belanda, praktik monopoli dagang dan kerja rodi tidak pernah diterapkan. Namun, setelah penandatanganan Traktat London pada 1817, Belanda kembali memberlakukan praktik monopoli perdagangan cengkeh dan kerja rodi. Pemuda Maluku dipaksa untuk menjadi tentara yang bertugas di Jawa. Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura bersama dengan panglima perang perempuan Martha Christina Tiahahu kemudian melaksanakan serangan dalam rangka menentang kebijakan Belanda. Keduanya terlibat beberapa kali pertempuran hebat yang berhasil menguasai Benteng Duurstede yang dibangun Belanda. Namun akhirnya perjuangan mereka harus berakhir setelah berhasil ditangkap. Pattimura kemudian dihukum gantung pada Desember 1817, sedangkan Martha Christina Tiahahu dalam perjalanannya untuk menjalani pengasingan akhirnya wafat di atas perahu karena menolak makan dan obat dari Belanda. Perlawanan rakyat Jawa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada 1925-1930.
Perlawanan ini merupakan perlawanan paling sulit yang pernah dihadapi Belanda di Tanah Hindia. Alasannya karena perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat banyak dukungan seperti kaum ulama, pihak istana bahkan rakyat Yogyakarta. Dilatarbelakangi oleh tindakan Belanda memasang patok-patok jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro ditambah dengan tindakan sewenang-wenang Belanda kepada penduduk pribumi. Untuk dapat meredam perlawanan Pangeran Diponegoro, Belanda menggunakan siasat perang Benteng Stelsel pada 1927. Caranya adalah mendirikan Benteng di setiap daerah yang dapat dikuasai untuk kemudian mengawasi daerah sekitarnya. Pasukan gerak cepat menjadi andalan Belanda untuk dapat menghubungkan satu benteng dengan benteng lainnya. Akan tetapi taktik Benteng Stelsel tidak mampu menahan perlawanan dari pasukan Diponegoro.
Akhirnya Belanda menggunakan tipu muslihat untuk dapat menangkap Pangeran Diponegoro. Dengan iming-iming untuk mengadakan perundingan damai, Belanda secara licik menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang. Dampak dari penangkapan itu adalah semakin melemahnya gerak pasukan Diponegoro. Meskipun demikian, Belanda justru mengalami kerugian karena bukan hanya menguras tenaga, perang pun mengeluarkan biaya yang sangat banyak. Perlawanan rakyat terhadap Belanda di Pulau Sumatera diantaranya terjadi di Palembang, dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Perlawanan terjadi karena ambisi Belanda yang ingin menguasai Palembang khususnya Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah ini memang memiliki letak yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah. Penyerangan dilakukan ke benteng-benteng pertahanan Belanda. Ketika terjadi pergantian kekuasaan akibat Perjanjian Tuntang, Inggris memfokuskan perhatiannya ke Pulau Jawa. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Sultan dengan menyerang sisa garnasium Belanda di Palembang.
Akan tetapi setelah Palembang berhasil dikuasai kembali oleh Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Selanjutnya adalah perlawanan rakyat Sumatera Barat atau dikenal dengan Perang Padri tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung. Perang ini berawal dari konflik internal masyarakat Minangkabau yakni golongan adat dan kaum Padri (golongan ulama). Kaum Padri ingin menghentikan kebiasaan kaum adat yang sering melakukan judi, sabung ayam dan mabuk-mabukan. Perseteruan bermula tahun 1803 dan berakhir dengan kekalahan Kaum Adat pada 1838. Kondisi ini dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan politik devide et impera. Belanda bekerjasama dengan Kaum Adat Belanda melawan Kaum Padri dengan tujuan ingin menguasai wilayah Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol adalah tokoh yang memimpin Kaum Padri. Perang Padri berlangsung antara tahun 1821 hingga 1838. Dalam perkembangan selanjutnya Tuanku Imam Bonjol dapat mengajak Kaum Adat untuk menyadari tipu daya Belanda dan bersatu menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Daftar Pustaka
Safitry, Martina., Indah Wahyu Puji Utami., Zein Ilyas. (2021). Buku Panduan Guru Sejarah. Jakarta: Kemendikbudristek https://static.buku.mendikbud.go.id/content/pdf/bukuteks/kurikulum21/sejarah-BG-KLS-XI.pdf
Posting Komentar